MEKANISME LI’AN DI PENGADILAN AGAMA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF FIQH

Pengarang
Aris Bintania, M.Ag ; Editor: Saepuddin, M,Ag Doni Septian, S.Sos.,M.IP
ISBN
978-623-90371-3-0
Email
pppm.stainkepri@gmail.com
Diterbitkan
STAIN SULTAN ABDURRAHMAN PRESS
Harga
Sinopsis

Buku ini berjudul “MEKANISME LI’AN DI PENGADILAN AGAMA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP  HUKUM PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF FIQH”. Persoalan yang diketengahkan adalah Legislasi hukum material Islam ke dalam perundang-undangan sebagai upaya unifikasi hukum Islam di Indonesia. Hasil legislasi tersebut banyak dirasakan belum memenuhi cita ideal hukum material Islam dan banyak ditemui penyikapan yang ambigu (mendua) dari institusi hukum maupun dari masyarakat. Di antaranya mengenai Hukum Acara Li’an dan mekanisme penerapannya di lingkungan Peradilan Agama. Meskipun tatacara li’an dalam pasal 27 (huruf a dan b) KHI sudah mengacu kepada al-Qur’an Surat al-Nur ayat: 4,6-9. Tetapi ketentuan huruf c yang menganggap tatacara  a dan b merupakan satu kesatuan dan diikuti dengan ketentuan huruf d yang menyimpulkan apabila tatacara huruf a tidak diikuti dengan tatacara huruf b dianggap tidak terjadi li’an, perlu dikritisi lebih lanjut.

Ketentuan huruf c dan d, mengenyampingkan sumpah li’an yang telah diucapkan suami dan dianggap tidak pernah ada, begitu juga dengan akibat hukum li’annya. Artinya sumpah yang diucapkan oleh suami hanya dianggap sumpah dalam pembuktian biasa dan perceraian terjadi dengan cerai talak sehingga secara hukum tentu si suami di kemudian hari berhak untuk merujuk dan atau memperbaharui akad dengan bekas isterinya, walaupun secara hakiki si suami sudah mengucapkan sumpah li’an, hanya karena isteri tidak mengikuti dengan mengucapkan sumpah penyangkalan.

Tampaknya ketentuan ini tidak sesuai dengan hukum Islam yang direpresentasikan dalam fiqh. Menurut Ibnu Katsir, dalam kitab tafsirnya, apabila sumpah kelima yang disertai laknat Allah atas dirinya jika ia berdusta, telah diucapkan oleh suami menurut mazhab al-Imam al-Syafi’iy dan sekelompok besar ulama lainnya terjadilah li’an dengan sumpah suami itu saja, dan haramlah bekas isterinya itu baginya untuk selama-lamanya. Sedangkan sumpah penyangkalan dari si isteri adalah untuk menghindarkan dirinya dari had zina, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an Surat al-Nur ayat 8.

Perbedaan antara ketentuan KHI dengan pendapat fiqh ini tentu akan berimplikasi kepada hukum perkawinan Islam berikutnya, yaitu sah tidaknya rujuk dan atau perkawinan antara suami yang telah meli’an bekas isterinya yang tidak mengucapkan sumpah penyangkalan.

Berdasarkan penelusuran pendapat-pendapat ulama fiqh, dapat disimpulkan bahwa (jumhur) mayoritas ulama menyatakan untuk terjadinya li’an berikut akibatnya harus memenuhi tatacara sesuai narasi ayat al-Qur’an, bahwa li’an berikut akibatnya baru dianggap terjadi setelah isteri selesai  mengucapkan sumpah penyangkalan atas tuduhan suaminya. Penolakan isteri untuk mengangkat sumpah penyangkalan akan berakibat ia dikenakan hukum had zina, karena penolakan bersumpah berarti merupakan pengakuan tersirat atas tuduhan suami. Berbeda halnya dengan penolakan bersumpah pada Pengadilan Agama di Indonesia, tidak berakibat diterapkannya had zina, karena soal penegakan hukum had bukan kewenangan Pengadilan Agama di Indonesia yang hanya berwenang mengadili perkara dalam sebagian hukum perdata Islam saja.

Dari sekian banyak pendapat jumhur ulama, hanya Imam al-Syafi’i saja yang berpendapat bahwa akibat li’an berupa putusnya perkawinan untuk selama-lamanya sudah terjadi begitu si suami selesai mengucapkan sumpah yang ke-lima dari sumpah li’an yang ia ucapkan.

HALAMAN PENERBIT

PDF FULL

Contact Us!

Facebook
Instagram
Youtube
Website

Kotak Pesan

We'll never share your email with anyone else.
Copyright © 2019
Unit Teknologi Informasi dan Pusat Data (TIPD)
STAIN SULTAN ABDURRAHMAN
Bintan, Kepulauan Riau.