Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah negara yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke selain memiliki sumber daya alam (natural recsources) juga mempunyai sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka ragam coraknya (I Nyoman Nurjaya, 2007).
Keragaman etnik yang ada di Indonesia sudah tentu mengandung dimensi multibudaya (multikultural). Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang memiliki kelompok-kelompok etnik yang berbeda dalam kebudayaan, bahasa, nilai, adat istiadat dan tata kelakuan yang diakui sebagai jalan positif untuk men-ciptakan toleransi dalam sebuah komunitas (Alo Lili-weri, 2009).
Indonesia memiliki warisan budaya yang sangat melimpah yang tertuang dalam berbagai bentuk baik berupa artefak (tangible) maupun tradisi (intangible) yang terungkap dalam masyarakat adat. Pengidentifi-kasian kearifan lokal masyarakat perlu dilakukan karena belum ada penelitian tentang hal ini terutama di daerah-daerah yang memiliki rentanitas kerusakan lingkungan yang besar dan rentang kendali yang ru-mit oleh karakteristik wilayah yang berpulau-pulau. Pendesainan pengelolaan sumberdaya laut pada tata-ran masyarakat desa sangat membutuhkan penyera-pan nilai-nilai budaya yang sudah mengakar dalam kehidupan mereka. Nilai-nilai budaya tersebut teruta-ma yang berkaitan dengan kearifan masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan ekologisnya, baik ya-ng pernah mereka jalankan, yang sedang dijalankan, atau menyerap kearifan lokal masyarakat lain yang cocok dengan karakteristik masyarakat setempat, yang pada dasarkan melahirkan pemikiran radikal di karenakan memiliki idealisme yang tinggi.
Namun secara garis besar gerakan radikalisme disebabkan oleh faktor ideologi dan faktor non-ideologi seperti ekonomi, dendam, sakit hati, ketidakpercayaan dan lain sebagainya. Faktor ideologi sangat sulit di berantas dalam jangka pendek dan memerlukan perencanaan yang matang karena berkaitan dengah keyakinan yang sudah dipegangi dan emosi keagamaan yang kuat. Faktor ini hanya bisa di ber-antas permanen melalui pintu masuk pendidikan (soft treatment) dengan cara melakukan deradikalisa-si secara evolutif yang melibatkan semua elemen.
Pendekatan keamanaan (security treatment) hanya bisa dilakukan sementara untuk mencegah dampak serius yang ditimbulkan sesaat. Sementara faktor kedua lebih mudah untuk diatasi, suatu contoh radikalisme yang disebabkan oleh faktor kemiskinan cara mengatasinya adalah dengan membuat mereka hidup lebih layak dan sejahtera. Pius A. Partanto (2011).
Di samping itu berpikir radikalismeini tidak terlepas dari pengaruh kesejahteraan hidupan masyarakat. Kesejahteraan itu meliputi keamanan, keselamatan dan kemakmuran. Di dalam Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, misalnya, merumuskan kesejah-teraan sosial sebagai:
“Suatu kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan kententraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjun-jung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia dengan Pancasila.”
Dalam Edi Suharto (2005:3), istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera (konsepsi pertama), yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Pengertian seperti ini menempatkan kesejahteraan sebagai tujuan dari suatu kegiatan pembangunan. misalnya, tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf ke-sejahteraan masyarakat.
Pemaknaan kesejahteraan sebagai arena menempatkan kesejahteraan sebagai arena atau wahana atau alat untuk mencapai tujuan pembangunan. Akan tetapi Paham radikalisme ini jika di pandang dalam proses hukum, akan menimbulkan pandangan yang berbeda dari masyarakat terutama dari sisi kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Penegakan hukum di suatu negara menurut (Satjipto Rahardjo, 1993) idealnya dilihat sebagai suatu proses yang interaktif, apa yang dipertontonkan kepada masyarakat sebagai hasil penegakan hukum itu tidak dapat diterima sebagai hasil karya penegak hukum sendiri, melainkan suatu hasil bekerjanya proses saling mempengaruhi di antara berbagai komponen yang terlibat di dalam proses itu.
Selanjutnya dikemukakan pula oleh Satjipto Rahardjo bahwa proses interaktif tiap-tiap komponen yang terlihat di dalam proses penegakan hukum, dapat berlangsung dengan baik, jika kesiapan dan tiap-tiap komponen tersebut cukup memadai, jika tidak demikian maka peranan hukum baik di dalam mem-pertahankan kestabilan maupun di dalam menunjang atau mengarahkan pembangunan tidak akan efektif.